Kali ini kita akan melanjutkan bagaimana memahami surah Adh-Dhuha. Baiknya kita melihat penjelasan ayat berikut.
Penjelasan ayat
Yang dimaksud dengan Adh-Dhuha adalah siang secara keseluruhan. Karena kalimat selanjutnya adalah “wal-laili idza sajaa” artinya malam ketika gelap, berarti lawan waktu Dhuha yang disebut pertama. Demikian alasan dari Imam Asy-Syaukani dalam Fath Al-Qadir, 1:611.
Makna Adh-Dhuha sendiri ada empat pendapat yaitu terangnya siang, depannya siang, awal siang ketika matahari mulai meninggi, dan ada pula yang berpendapat seluruh waktu siang disebut Adh-Dhuha. Lihat Zaad Al-Masiir, 9:159.
Sedangkan ayat,
وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى
Dan demi malam ketika “sajaa”. Maksud “سَجَى” sajaadi sini adalah “سَكَنَ” sakana, yaitu tenang.
‘Atha’ mengatakan bahwa yang dimaksud “إِذَا سَجَى” adalah jika (siang) telah tertutupi gelap. Juga dikatakan yang hampir sama oleh Ibnul ‘Arabi, Al-Ashma’i, Al-Hasan Al-Bashri. Sa’id bin Jubair menyatakan “إِذَا سَجَى” ketika malam telah tiba. Mujahid menyatakan bahwa “إِذَا سَجَى” maksudnya adalah ketika malam telah istawa (telah lurus). Namun pendapat pertama yang menyatakan “إِذَا سَجَى” artinya “ketika malam itu tenang”, yaitu datang gelap dan tidak bertambah gelapnya lagi setelah itu, itu yang lebih dikuatkan oleh Imam Asy-Syaukani dalam Fath Al-Qadir, 1:611.
Adapun “سَجَى” bermakna “سَكَنَ” sakana ada dua makna: (1) ketika malam tenang, (2) ketika ada makhluk yang muncul pada waktu malam.
Kalimat “وَالضُّحَى (1) وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى (2)” adalah kalimat sumpah (al-qasam). Sedangkan jawab al-qasam (jawab sumpah) ada pada kalimat “مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى”.
Kalimat “مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ”, Rabbmu tidak meninggalkanmu, maksudnya adalah Allah tidak meninggalkan Nabi Muhammad sebagaimana seseorang yang berpisah meninggalkan barang. Kata “قَلَى” artinya “أبغض” (membenci), sehingga maksud ayat “مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى” adalah Allah tidak meninggalkan dan tidak membencimu.
Kemudian pada ayat,
وَلَلْآَخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْأُولَى
“Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan).” (Dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu), maksudnya kehidupan di akhirat itu lebih baik bagimu, karena di dalamnya terdapat kemuliaan-kemuliaan bagimu (dari permulaan) dari kehidupan duniawi.
Kehidupan dunia ini hanya bagaikan mata’ul ghurur (kesenangan yang menipu) sebagaimana disebutkan dalam ayat lainnya,
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20).
Dalam Tafsir Al-Jalalain (hlm. 551) disebutkan bahwa manusia terlalu sibuk dengan dunianya. Padahal hal-hal tadi (anak dan harta) bisa mendukung pada akhirat. Dunia itu membuat kita kagum layaknya petani yang kagum pada tanaman. Padahal tanaman itu nantinya kering dan menguning, lalu hancur menjadi keropos dan tertiup angin. Yang mementingkan dunia dari akhirat, baginya siksa yang keras. Padahal dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata bahwa Allah Ta’ala menjadikan permisalan kehidupan dunia dengan perhiasan yang akan fana (sirna) dan kenikmatan yang akan hilang. Dunia itu diibaratkan dengan ghaits yaitu hujan yang datang setelah sekian lama tak kunjung turun. Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat,
وَهُوَ الَّذِي يُنَزِّلُ الْغَيْثَ مِنْ بَعْدِ مَا قَنَطُوا وَيَنْشُرُ رَحْمَتَهُ ۚ وَهُوَ الْوَلِيُّ الْحَمِيدُ
“Dan Dialah Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pelindung lagi Maha Terpuji.” (QS. Asy-Syura: 28)
Ibnu Katsir rahimahullah juga menyatakan para petani itu begitu takjub pada tanaman yang tumbuh karena hujan tadi. Sama halnya dengan orang kafir ketika memandang dunia. Orang kafir itu begitu semangat pada dunia, hati pun condongnya pada dunia. Padahal tanaman tadi itu bisa menguning, setelah sebelumnya begitu hijau dan enak dipandang mata. Kemudian akhirnya tanaman itu hancur dan kering.
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, dunia itu awalnya layaknya pemuda kemudian beranjak menjadi berumur antara 30-50 tahun (kuhulan), lalu menjadi sepuh (keriput dan buruk rupa). Demikian pula fisik manusia dilihat dari umurnya. Di waktu syabab (pemuda) begitu semangat, begitu semangat dan gesit serta enak dipandang. Lalu berubah menjadi kuhulan (tua), sebagian kekuatannya menjadi hilang. Lantas ia beralih sepuh yang kekuatannya terus melemah. Itulah yang disebutkan pula dalam ayat lainnya,
۞ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً ۚ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ ۖ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ
“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Mahakuasa.” (QS. Ar-Ruum: 54)
Permisalan ini menunjukkan akan sirnanya dunia, sedangkan akhirat akan kekal abadi. Sehingga seharusnya kita semangat untuk menggapai akhirat. Di akhirat yang ada hanyalah siksa yang pedih, ataukah ampunan Allah.
Dalam ayat selanjutnya disebutkan,
وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى
“Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.”
Dalam Tafsir Al-Jalalain disebutkan, (Dan kelak Rabbmu pasti memberimu) di akhirat berupa kebaikan-kebaikan yang berlimpah ruah (lalu kamu menjadi puas) dengan pemberian itu. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalau begitu mana mungkin aku puas, sedangkan seseorang di antara umatku masih berada di neraka.” Sampai di sini selesailah Jawab Qasam, yaitu dengan kedua kalimat yang dinisbatkan sesudah dua kalimat yang dinafikan.
Dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Ibnu Katsir rahimahullahberkata di negeri akhirat, Allah memberi pada Muhammad karunia sampai ia ridha pada umatnya. Di antara yang diberi adalah karamah, juga termasuk sungai Al-Kautsar. Dalam riwayat dari Ibnu ‘Abbas disebutkan bahwa kelak akan diberikan di surga sejuta istana, di mana setiap istana tersebut memiliki istri dan pembantu. Yang terakhir ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari jalurnya, sanadnya sahih sampai Ibnu ‘Abbas. Hal ini disebutkan oleh Ibnu ‘Abbas tentu berdasarkan dalil.
Pengertian lainnya pula yang disebutkan dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, bentuk karunia pada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah anggota keluarganya tidak ada yang dimasukkan dalam neraka. Demikian yang dikatakan oleh As-Sudi, dari Ibnu ‘Abbas sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim.
Tafsiran lainnya pula menyebutkan bahwa bentuk karunia pada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah syafaat. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Al-Hasan Al-Bashri, juga dinyatakan oleh Abu Ja’far Al-Baqir.
Yang tepat sebagaimana disebutkan dalam At-Tafsir Al-Muyassar, kelak Allah akan memberikan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhirat berbagai nikmat, lantas beliau akan ridha dengan yang demikian. Pernyataan yang sama juga disebutkan oleh Syaikh As-Sa’dirahimahullah dalam kitab tafsirnya.
Kemudian setelah itu dirinci berbagai nikmat yang diberikan kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآَوَى (6) وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى (7) وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَى (8)
“Bukankah Allah mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu? Dan Allah mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Allah mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.”
Dalam At-Tafsir Al-Muyassar disebutkan, bukankah sebelumnya Allah menjadikanmu dalam keadaan yatim, lantas Allah melindungi dan memeliharamu. Sebelumnya juga Nabi Muhammad dalam keadaan tidak tahu kita dan tidak tahu iman, lantas Allah mengajarkan pada Muhammad ilmu yang ia belum mengetahui, lantas diberi taufik pula pada bagusnya amal. Juga sebelumnya Muhammad dalam keadaan fakir, lantas diberikan rezeki dan berikan kecukupan dengan sifat qana’ah dan sabar.
Syaikh As-Sa’di rahimahullah menerangkan tentang ayat “Bukankah Allah mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu”, maksudnya Allah mendapatimu dalam keadaan tidak memiliki ibu dan ayah, di mana ibu dan ayah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia ketika itu ia tidak merawat dirinya sendiri, namun Allah yang melindungi dan memelihara beliau. Kakeknya ‘Abdul Muththalib yang merawatnya setelah itu. Ketika kakeknya meninggal dunia, dilanjutkan pemeliharaan beliau oleh pamannya Abu Thalib. Sampai Allah terus menerus menolong beliau.
Maksud ayat,
وَوَجَدَكَ ضَالا فَهَدَى
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.”
Syaikh As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Allah mendapatimu (wahai Muhammad) dalam keadaan tidak mengetahui Al-Qur’an, tidak mengetahui iman, lalu diajarkan kepadamu yang engkau belum ketahui. Akhirnya engkau mendapatkan taufik sehingga baik dalam amalan dan akhlak.”
Ada juga tafsiran lainnya yang mengatakan, “Ketika kecil Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tersesat di celah-celah kota Makkah akhirnya Allah mengembalikan beliau pada kakeknya ‘Abdul Muththalib.” Demikian ini pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas sebagaimana disebutkan dalam Zaad Al-Masiir, 9:158.
Sedangkan maksud ayat “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan” yaitu Muhammad didapati dalam keadaan fakir, kemudian Allah taklukkan bagi Muhammad berbagai negeri yang di situ didapati perbendaharaan harta dan hasil bumi.
Yang dimaksud diberi kecukupan di sini adalah Allah membuat Muhammad ridha terhadap rezeki. Inilah pendapat As-Saib, juga dipilih Al-Fara’. Al-Fara’ berkata,
لَمْ يَكُنْ غِنَاهُ عَنْ كَثْرَةِ الماَلِ ، وَلَكِنَّ اللهَ رَضَّاهُ بِمَا آتَاهُ
“Ghina (kaya)-nya Nabi kita Muhammad itu bukan dengan banyaknya harta. Akan tetapi beliau rida terhadap rezeki yang diberi.” Lihat Zaad Al-Masiir, 9:159.
Setelah itu barulah disebutkan, “Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya.Dan terhadap nikmat Rabbmu, maka hendaklah kamu siarkan.”
Di sini maksudnya adalah jika Allah yang telah menghilangkan darimu berbagai kekurangan, yang telah memberikan kecukupan kepadamu, yang telah melindungi, menolong, hingga memberi petunjuk padamu, maka balaslah berbagai nikmat tersebut dengan bersyukur kepada-Nya.
Oleh karena itu, terhadap anak yatim janganlah bertindak kasar dan menyakitinya. Anak yatim itu dimuliakan dan diberi apa yang memudahkan mereka. Hendaklah kita lakukan seperti apa yang kita senang jika anak-anak kita diperlakukan seperti itu pula.
Adapun yang meminta-minta janganlah dihardik dan diperlakukan dengan akhlak yang jelek. Harusnya pada yang meminta-minta diberi kemudahan dan dibalas dengan yang makruf serta berbuat baik. Demikian penjelasan dari Syaikh As-Sa’di rahimahullah.
Menyebut-nyebut nikmat
Berikut beberapa pendapat ulama mengenai ayat,
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan.” (QS. Adh Dhuha: 11).
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبَّ أَنْ يُرَى أَثَرُ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ
“Sesungguhnya Allah suka melihat tampaknya bekas nikmat Allah pada hamba-Nya.” (HR. Tirmidzi no. 2819 dan An Nasai no. 3605. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Baca juga: Tampakkanlah nikmat Allah
Syaikh Muhammad Al Utsaimin menerangkan bahwa hendaklah setiap orang bersederhana dalam setiap aktivitasnya. Hendaklah ia bersederhana dalam pakaian, makan, dan minum. Namun jangan sampai ia menyembunyikan nikmat Allah. Karena Allah amatlah suka jika melihat bekas nikmat pada hamba-Nya.
Jika nikmat tersebut berupa harta, maka Allah sangat senang jika hamba memanfaatkan nikmat tersebut untuk berinfak, bersedekah, dan menolong dalam kebaikan.
Jika nikmat tersebut berupa ilmu, maka Allah sangat senang jika ilmu tersebut diamalkan sehingga baik ibadah dan muamalahnya, juga ilmu tersebut disebar dengan dakwah dan mengajari orang lain.
Jika malah sebaliknya, saat Allah sudah memberikan nikmat harta sehingga mampu sebenarnya membeli pakaian, kok malah ia keluar di hadapan orang lain dalam keadaan fakir (seakan tak punya apa-apa). Ini hakekatnya menolak atau menentang nikmat Allah. Sama halnya jika orang diberi harta, lantas ia tidak memanfaatkannya untuk infak atau memenuhi kewajiban dari harta.
Begitu pula dengan nikmat ilmu, kalau tidak dimanfaatkan untuk menambah ibadah, khusu’ dalam ibadah atau baik dalam muamalah, atau tidak dimanfaatkan untuk mengajarkan orang lain, maka ini pun tanda menyembunyikan nikmat Allah. Lihat Syarh Riyadhus Sholihin, 4:318-319.
Semoga bermanfaat penjelasan sebelas ayat dari surah Adh-Dhuha ini.
Bahasan selanjutnya: Tujuh Faedah dari Surat Adh-Dhuha
Selesai disusun pada Jumat pagi di #DarushSholihin, 20 Muharram 1441 H, 20 September 2019
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com